Siswa Satu, Guru Sepuluh

Oleh: Agus Nurjaman, S Pd. Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 1 Pasirjambu. Kabupaten Bandung

GAPURANEWS.ID – Sekolah berperan penting dalam mengembangkan kreativitas siswa dan guru untuk mendongkrak literasi bangsa. Sekolah dapat mengembangkan keunggulan dalam literasi yang dimulai dari membaca hingga menulis. Keilmuan seorang guru tentulah harus melebihi siswanya. Guru harus lebih berilmu dibandingkan para siswa.

Dalam hal literasi guru tentunya harus memiliki tingkat keunggulan yang melebihi para peserta didiknya. Jika seorang siswa membaca satu buku maka guru harus membaca lebih dari satu buku. Ungkapan “Siswa Satu, Guru Sepuluh” memiliki makna agar guru bisa lebih pintar dari siswanya.

Dengan begitu guru akan memiliki pengetahuan yang lebih  dibandingkan dengan siswanya. Seandainya ungkapan ini menjelma maka kabar minor yang sangat miris dari PISA (Program for Internasional Student Assessment) menempatkan minat baca Indonesia di tangga ke 64 dari 72 negara yang disurveynya.

Guru adalah komponen penting dalam pergerakan dan perkembangan literasi. Kita sebagai pegiat literasi tidak terpengaruh dengan data tersebut sehingga semangat berliterasi jadi menurun karenanya.

Namun seyogyanya menjadi penyemangat untuk terus membaca. Sehingga suatu saat bisa menebus keterpurukan itu. Jika perlu, gerakan literasi sekolah tidak sekadar rutinitas tetapi menjadi budaya. Kini saatnya mendorong gerakan literasi untuk melahirkan karya otentik dari siswa dan guru.

Sehingga semakin banyak siswa dan guru menulis akan menjadi bukti meningkatnya minat baca di negeri ini.  Guru harus memberikan contoh yng kongkrit bagi anak didiknya. Guru senantiasa melakukan gerakan membaca untuk kemudian membuat hasil karya berupa tulisan yang bisa di baca oleh peserta didiknya. Untuk membuktikan bahwa berliterasi bukan hanya membaca tetapi juga menulis. Tulisan adalah bukti seseorang telah membaca.

Sampai saat ini membaca memang belum menjadi sebuah budaya di negeri ini. Orang Indonesia memang lebih terbiasa mendengar dan berbicara daripada berliterasi. Rendahnya literasi di Indonesia disebabkan oleh masyarakat masih lebih suka berbudaya lisan daripada berliterasi.

Orang tua hanya mengajarkan membaca dan menulis pada level bisa belum terbiasa. Pengaruh perkembangan teknologi yang makin canggih ternyata turut meninggalkan budaya literasi di Indonesia. Itulah sebabnya Indonesia selalu menempati urutan terbawah dalam hal berliterasi. Sedangkan kita tahu bahwa teknologi dan anak zaman sekarang tidak bisa terpisahkan dengan literasi.

Tidak bijaksana jika kita menyalahkan anak-anak zaman sekarang yang lebih suka mengakses internet daripada membaca buku di perpustakaan. Mengingat Indonesia belum begitu banyak memiliki buku yang berkualitas sehingga bisa menarik untuk dibaca. Namun dengan  guru membiasakan membaca buku setiap hari diharapkan bisa menjadi contoh bagi para siswanya.  

Dalam memperbaiki literasi Indonesia yang dibilang rendah, membutuhkan dukungan dari banyak elemen masyarakat terutama lembaga pendidikan. Sebab anak usia sekolah dituntut untuk lebih banyak membaca. Dukungan yang paling nyata adalah dari lingkungan sekolah, dan itu pasti dari guru yang memiliki peran sentral dalam sebuah proses pendidikan.***