Sofwan AnsoriKetua Umum HMI Cabang Kota BogorMahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Pakuan

Bogor – GAPURANEWS.ID | Momentum memperingatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2024, merupakan sebuah momentum untuk menimbang seberapa jauh komitmen pemerintah dalam menyikapi persoalan korupsi di negri ini.

Salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah bagaimana trias politika bisa berubah menjadi triaskoruptika karena seringkali kasus kasus muncul di lembaga-lembaga tersebut, seperti kasus sebelum-sebelumnya yang bahkan seringkali ada indikasi berkerjasama antar oknum pejabat lembaga-lembaga negara tersebut dalam melakukan tindak piudana korupsi. perpaduan korupsi di antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif akan menciptakan siklus korupsi yang sulit dihentikan. Banyak kasus yang telah korupsi di lembaga negara yang merugikan negara.


Indonesia masuk jajaran lima besar negara terkorup di kelompok ASEAN pada 2023. Ini terlihat dari laporan Transparency International (TI). Laporan TI menyebut, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 poin pada 2023. Skor ini stagnan sejak 2022. Adapun rata-rata skor IPK global 43 poin pada 2023.

Ini berarti skor Indonesia lebih buruk dari standar global. Dikelompok ASEAN, capaian buruk itu membuat Indonesia menjadi negara terkorup keempat. Posisi ini tak berbeda jauh dari 2022 dengan skor yang sama di peringkat lima. Hal ini harus menjadi evaluasi pemerintah dalam melaksanakan komitmen dalam pemberantasan korupsi.


Hari anti korupsi sedunia mulai dipicu dengan adanya pengesahan konvensi internasional oleh PBB dalam rangka memerangi korupsi, yang dikenal dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang di sahkan pada tanggal 30 Oktober 2003 oleh Majlis Umum PBB.


Permasalahan perdagangan pengaruh belum ada peristilahannya di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini berkaitan dengan hubungan hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC.

Modus operandi tindak pidana korupsi senantiasa berkembang, seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Singkatnya monus operandi tindak pidana korupsi tahun 1990-an akan berbeda dengan modus operandi tindak pidana korupsi tahun 2000-an.

Fenomena praktik korupsi yang terjadi mengalami perkembangan yang sangat kompleks baik dari segi aktor maupun modus, sehingga aparatur penegak hukum mengalami kesulitan untuk menindak dan memproses beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana, salah satu contohnya ialah Trading In Influence atau dapat dikatakan sebagai perdagangan pengaruh.

Trading In Influence atau memperdagangkan pengaruh termaktub dalam Pasal 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yaitu konvensi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang salah satunya ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 bertempat di Merida Mexico telah ditandatangani yang disebut dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) serta ditandatangani oleh 133 (seratus tiga puluh tiga) negara dan telah diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) sebagai bentuk komitmen dalam memberantas korupsi.


Perdagangan pengaruh atau trading in influence merupakan salah satu jenis korupsi yang belum diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Padahal, perdagangan pengaruh merupakan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dan sulit dibuktikan.

Membuktikan unsur perdagangan pengaruh memang cenderung lebih sulit jika dibanndingkan penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan yang dapat dilihat dari pengaturan perundang-undangan, susunan tugas, deskripsi kerja, dan yang serupa dengan hal tersebut. Maka dari itu, frasa “pengaruh yang dianggap ada” membuat penegak hukum tidak harus membuktikan pengaruh nyata si pelaku. Cukup menelusuri dengan bukti-bukti elektronik dan sebagainya.


menurut Micheal Johnston ruang lingkup dari memperdagangkan pengaruh sulit untuk dispesifikan. Association of accredited Public Policy Advocates to The European Union menyatakan hal yang senada terkait sulitnya konsep memperdagangkan pengaruh, yaitu “kesulitan untuk mengkriminalisasi perdagangan pengaruh, karena perbuatan itu merupakan perbuatan korupsi yang kabur.

Seorang pejabat yang dipengaruhi sulit untuk dibuktikan karena hubungan antara subjek yang berbuat dan subjek yang dipengaruhi tidak begitu jelas sehingga sulit untuk di investigasi dan dibuktikan. Berkaitan dengan penyelidikan penuntutan dan peradilan, tentu tidak bisa dipisahkan dengan pembuktiaan. Tujuan dari pembuktian tidak hanya untuk mencari kesalahan seseorang namun juga untuk mencari, menemukan, dan menetapkan kebenaran yang ada dalam perkara tersebut.

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem pembuktian yang berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatif wittelijk), yang artinya hakim dapat memutus seseorang bersalah atas keyakinannya yang didasarkan pada suatu kesimpulan yang diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Hal ini yang menjadi pertimbangan dalam mengadopsi aturan mengenai perdagangan pengaruh.

Kesulitan utama memang terletak dalam membuktikan kausal antara pihak yang mempengaruhi dengan pihak yang dipengaruhi. Namun demikian, kesulitan tersebut semestinya bukan menjadi alasan untuk mengkriminalisasikannya perdagangan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi.

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), dalam Round Table Discussion bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), berkesimpulan pembentukan undang-undang perlu memformulasikan konstruksi hukum dan parameter perbuatan memperdagangkan pengaruh untuk menghidari miskonsepsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi agar dapat ditangani dengan tepat.


Menurut ICW (Indonesia Corupption Watch) delik trading in influence sudah menjadi kebutuhan. Sudah banyak kasus yang berbau trading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Contohnya kasus yang menyangkut Irman Gusman. Irman bisa dijerat delik trading in influence sebagai broker, berdiri sendiri tidak perlu pakai Pasal suap.

Namun sayangnya pengaturan tersebut belum dimasukan kedalam UU Tipikor. Kelemahan pasal suap karena untuk menjerat si pelaku haruslah pejabat pubik. Berbicara soal pasal suap membutuhkan penyelenggara Negara untuk dijerat, siapa yang mempunyai kewenanganya, siapa yang menerima, siapa yang memberi.

Kemudian dalam konteks pembuktian semakin susah atau mengunakan pasal-pasal kerugian negara, Pasal pemerasan, itu menjadi persoalan. Beberapa broker-broker itu akan sulit untuk dijerat.
Negara Indonesia belum mengadopsi keseluruhan aturan dari UNCAC, khususnya aturan tentang perdagangan pengaruh atau trading in influence. hanya sebatas diratifikasinya UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.

Padahal, dalam tataran praktek, perdagangan pengaruh sangat banyak terjadi di negara ini dengan memanfatkan kekuasaan atau otoritas yang mereka miliki untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage). Perihal pelaku memperdagangkan pengaruh diluar dari pada pejabat publik lebih sulit ditindak.

Sementara pelaku perdagangan pengaruh yang memiliki jabatan publik lebih mudah dijerat dengan pasal suap dan gratifikasi, karena perbuatan suap menjadi salah satu bagian dari praktik memperdagangkan pengaruh. Oleh sebab itu sampai saat ini pertanggungjawabn perbuatan perdagangan pengaruh belum bisa dimintai pertanggujawaban pidananya secara karena belum diatur kedalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Disisi lain pendapat kontra mengenai aturan perdagangan pengaruh yang tidak pelu buatkan pengaturannya karena perdangan pengaruh telah termasuk kedalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi akan tetapi bukan disebut perdangangan pengaruh melaikan conflict interes atau konflik kepentingan. Oleh sebab itu amat diperlukan dicantumkannya perdangan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi di dalam UU Tipikor.

Disisi lain tentang belum disahkannya Rancangan undang-undang perampasan aset sampai saat ini. RUU yang diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada 2003 itu mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). RUU Perampasan Aset diharapkan menjadi bagian dari perwujudan keadilan dalam paradigma pemulihan (rehabilitasi).

Tujuan utama perampasan aset adalah untuk mencegah pelaku kejahatan menikmati hasil kejahatannya, menghukum pelaku, dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa depan.


Tanpa UU Perampasan Aset, pelaku korupsi dan keluarganya dapat terus menikmati hasil kejahatan mereka, meski secara pidana pelaku telah menjalani hukuman. Terpidana bisa bersuka ria di penjara. Mereka dapat “membeli sel serasa hotel”. Berbagai fasilitas dan kenyamanan di bui dapat dibeli.

Setelah berakhir masa hukuman, apalagi dengan memborong “obral diskon hukuman”, mereka tetap terus menikmati hasil korupsi yang aman. Soalnya, negara tak bisa menyita selain harta yang disebut dalam sidang peradilan.


Hal ini juga akan menjadi pertanyaan pada masa pemerintahan baru yang dipimpin oleh pak prabowo. Apakah akan benar-benar berkomitment untuk memberantas korupsi di negri ini? Atau hanya sekedar membersihkan elit-elit politik yang kebetulan melakukan tindak pidana korupsi dan kebetulan berbeda pandangan poltik semata. Oleh sebab itu menjadi harapan bukan hanya pembersihan oknum pejabat yang korup.

Tapi yang kami harapkan perapihan sistem dengan melengkapi dan mengesahkan undang-undang yang pro terhadap pemberantasan korupsi. seperti undang-undang Perampasat Aset.(Roni.SP)