Kuningan-GAPURANEWS.ID |
Keluarga besar Gabungan Wartawan Indonesia Satu (GAWARIS) menuntut pelaku perbuatan pedofilia terhadap lima pelajar SMP di kabupaten Kuningan jawa barat diproses hukum agar tindak kejahatan pedofilia jera dan tidak terjadi lagi di lingkungan masyarakat.
Supremasi hukum kasus pedofilia itu wajib di tegakan.mengingat dampak dari tindak kejahatan kasus pedofilia itu sangat beresiko besar yang berpotensi kerusakan cacat fisik dan psikologis pada pihak korban.
Melalui Asep Suherman S.H selaku ketua umum GAWARIS mewakili keluarga besar GAWARIS Jumat 26/7/2024 di Jakarta menyampaikan.
Tindak kejahatan pedofilia itu tidak dapat di tempuh dengan Restoratif justice (RJ).Kasus PEDOFILIA itu wajib di sidangkan berdasarkan Pasal 1 angka (2) menerangkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala kegiatan untuk menjamin agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal yang menjelaskan tentang Kekerasan seksual terhadap anak di atur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang menyatakan:
“setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekekrasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”
Ancaman Pidana terhadap orang yang melakukan kekerasan persetubuhan terhadap anak di pidana berdasarkan pasal 81 Undang-Undang Perlindungan anak Nomor 35 tahun 2014 yang menyatakan bahwa “pelaku pencabulan anak di bawah umur akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama adalah 15 (limabelas) tahun serta denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Selain ancaman pidana berdasarkan Pasal 81 UU 35/2014, Adapun Hukuman atas perbuatan tersebut di atur dalam Pasal 82 Perpu nomor 1 tahun 2016, sebagai berikut:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU No.35 tahun 2014 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah);
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pad aayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga pendidik, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1;
Berdasarkan Pasal 81 ayat (5) Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang berbunyi:
“dalam hal tindak pidana pemerkosaan anak di bawah umur menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguang jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun”
Terhadap pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik serta diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Hal ini di atur dalam pasal 81 ayat (7) Perpu 1/2016
Selain di dalam Pasal 76E UU nomor 35 tahun 2014, jerat hukum terhadap pelaku cabul juga di atur berdasarkan Pasal 289 KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Berdasarkan pasal 287 KUHP menjelaskan sebagai berikut:
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umuenya belum 15 tahun, atau kalau umurya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Berdasarkan Pasal 419 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 menyatakan bahwa “setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau patut di duga anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”
Namun, bagaimana jika penegak hukum (dalam hal ini adalah polisi) tidak mau memproses kasus tersebut?
Bahwa, berdasarkan Pasal 12 Huruf a dan f Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2022, mengatur:
Setiap pejabat Polri dalam etika kemasyarakatan, dilarang:
a.Menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya
f.mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan.
Maka dari itu berdasarkan pasal tersebut sudah sepatutnya Pihak Kepolisian sebagai Penegak Hukum memproses perkara yang menyangkut perlindungan terhadap seseorang.
Apabila polisi mengabaikan dan tidak memproses laporan dengan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur, maka tentunya akan dikenakan sanksi.Pejabat Polri yang dinyatakan melanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP) akan dikenakan sanksi berupa sanksi etika dan/atau sanksi administratif.
Adapun Sanksi Etika yaitu terdiri dari:
1.Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
2.Perilaku wajib meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis kepada Pimpinan POLRI dan Pihak yang dirugikan;
3.Pelanggar wajib mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 bulan.
Sedangkan sanksi administratif yaitu terdiri dari:
1.Mutasi bersifat demosi minimal 1 tahun;
2.Penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun
3.Penempatan pada tempat khusus paling lama 30 hari kerja; dan
4.Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH)
Kasus Kekerasan Seksual terhadap anak tidak bisa dilakukan pendekatan Restorative Justice (RJ). Adapun alasan Restorative Justice (RJ) tidak dapat di gunakan dalam Perkara Kekerasan Seksual, yaitu:
1.Memicu trauma saat pertemuan langsung antara korban dan pelaku.
2.Kekhawatiran pelaku akan mengambil kesempatan manipulasi korban untuk menerima dan meminimalkan kekerasan yang dilakukannya;
3.Perasaan beban pada korban untuk memastikan sendiri tindakan reperatif yang telah disepakati akan benar dilakukan oleh pelaku;
4.Sulit untuk menerapkannya secara ideal;
5.Merasa tidak akan ditangani secara serius.
Bahwa, dengan adanya perkara tersebut, maka sudah seharusnya Pihak Pelaku di pidana sesuai dengan yang telah di tentukan berdasarkan Undang-Undang, sebagaimana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1041K/Pid.Sus/2020 yang menyatakan bahwa pelaku di pidana penjara dan biaya perkara di bebankan kepada pelaku.
“Atas kejadian perbuatan pedofilia terhadap lima pelajar SMPN di kecamatan Darma kabupaten kuningan kami keluarga besar GAWARIS menuntut kepada pihak aparat penegak hukum (APH) di kabupaten Kuningan untuk segera menangkap pelakunya dan di jerat sesuai hukum yang berlaku.”pungkas Asep Suherman S.H./Tim.(U.Samsudin)